Sekalipun ketiga profesi ini sedang
sangat berkembang di masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, belum banyak orang
yang tahu bagaimana ketiganya berbeda. Sebagian besar masyarakat bahkan
menganggap sama antara psikolog, psikiater, dan konselor. Padahal, ketiganya
memiliki cara kerja, pespektif, dan pendekatan yang berbeda dalam kerja
profesionalnya.
Ketiganya sering dianggap sama karena
berhubungan dengan penanganan masalah kejiwaan manusia. Benar, baik psikolog,
psikiater, maupun konselor, ketiganya berfokus untuk membantu seseorang dalam
mengatasi permasalahan yang dialami dalam hidupnya. Akan tetapi, cara kerja
serta pendekatannya dalam mengatasi permasalahan manusia berbeda-beda. Sebelum
menjawab kepada siapa seharusnya kita datang ketika mengalami masalah tertentu,
mari kita pahami lebih lanjut pendekatan dan cara kerja masing-masing profesi
tersebut.
PSIKOLOG
– bergelar M.Psi/Psi. (psikolog)
Mereka yang disebut psikolog ialah yang
telah menempuh program Master dalam bidang tertentu dari psikologi profesi
(klinis, pendidikan, industry-organisasi)-kecuali untuk para lulusan psikologi
S1 yang lulus masih dengan gelar “dra./drs.” (karena dalam program S1, mereka
sudah mendapat bekal yang setara denga program S2 masa kini). Selama studinya,
para psikolog dibekali dengan berbagai teori tentang manusia, dinamika
perkembangan manusia, serta kemampuan untuk menganalisis dan melakukan
psikoterapi dalam membantu seseorang menyelesaikan masalahnya. Asumsi dasar
yang menjadi landasan kerja psikolog adalah bahwa setiap manusia memiliki
kapasitas untuk berpikir dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, sehingga
peran psikolog adalah merefleksikan, memberikan pandangan, membuka wawasan,
bahkan dalam beberapa kasus sampai mengarahkan klien untuk dapat menyelesaikan
masalahnya. Tidak ada obat-obatan yang dipakai selain kata-kata. Jadi, psikolog
memandang manusia sebagai individu dalam konteksnya dengan lingkungan atau
masyarakat. Disamping itu, psikolog juga berkompeten untuk melakukan dan
mengintrerpretasikan berbagai macam tes psikologi, seperti tes IQ, tes minat
bakat, tes kepribadian untuk memilih profil klinis, serta berbagai macam tes
lainnya. Tes tersebut bisa dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk memberikan
gambaran psikologis tentang klien atau sekedar sebagai referensi untuk pihak
ketiga (misal: syarat mengikuti Ujian Nasional, syarat masuk ke sekolah atau
perguruan tinggi, syarat mendaftar jadi Caleg, dsb).
PSIKIATER
– bergelar dr. dan Sp.KJ (Spesialis Kesehatan Jiwa)
Psikiater adalah seorang dokter yang
melanjutkan studi S2 dalam bidang Psikiatri, sehingga mendapat gelar spesialis
dalam bidang Kesehatan Jiwa. Berbeda dengan psikolog, psikiater lebih berfokus
pada perubahan-perubahan biologis atau fisiologis yang terjadi dalam diri
individu, yang menyebabkan atau disebabkan oleh masalah yang dihadapi individu
tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang sedang depresi perlu diberikan
obat-obatan anti depresan untuk mengimbangi kadar neurotransmitter Serotonin
yang menjadi tidak seimbang, sebagai reaksi tubuh akibat kondisi depresi
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa asumsi dasar yang menjadi
landasan kerja seorang psikiater ialah bahwa masalah kejiwaan manusia
disebabkan karena atau menyebabkan ketidakseimbangan fungsi-fungsi fisiologis
(meurotransmiter, hormone, dsb). Dengan demikian, seorang psikiater menggunakan
obat-obatan untuk membantu seseorang mengatasi masalah kejiwaannya – walaupun
tidak harus selalu menggunakan obat-obatan. Beberapa psikiater juga berkompeten
untuk memberikan tes-tes psikologi tertentu, seperti MMPI dan berbagai tes
neuropsikologi untuk melihat keberfungsian syaraf serta anomali atau
adaptabilitas seseorang dalam masyarakatnya.
KONSELOR
– bergelar M.K. / M.A. in counseling /
Kons.
Gelar konselor bisa diperoleh dari
program Pendidikan (S.Pd. / M.Pd. yang melanjutkan spesialisasi dalam bidang
Konselor), atau dari program Teologi. Program konselor dibawah fakultas
psikologi di Indonesia memang belum ada. Di luar negeri, Konselor atau Counseling Psychology merupakan Program
Studi Psikologi. Itulah sebabnya ada beberapa konselor yang bergelar M.A. (Master of Arts). Pendekatan seorang
konselor mirip dengan psikologi. Hanya saja, fokus kerja seorang konselor ialah
kepada individu yang normal bermasalah. Normal bermasalah berarti mereka yang
sebenarnya memiliki masalah dan tantangan dalam hidup, namun tidak sampai
menyebabkannya mengalami gangguan jiwa yang serius, seperti: skizofrenia,
depresi dengan gejala psikotik, atau gangguan-gangguan ekstrim lainnya. Oleh
sebab itu, pendekatan seorang konselor ialah bahwa setiap manusia memiliki
kapasitas penuh untuk menentukan hidupnya ke arah yang positif dan konstruktif,
sehingga peran konselor ialah untuk menjadi seorang teman, mentor, dan
pendengar yang baik bagi individu tersebut. Bedanya dengan psikologi, seorang
konselor tidak dibekali kompetensi yang mendalam untuk menangani seseorang
dengan gangguan kejiwaan yang serius. Di Indonesia, program konselor
seolah-olah disisipkan dalam bidang psikologi, sehingga seorang psikologi juga
dapat berperan sebagi seorang konselor ketika menangani manusia yang normal
bermasalah. Walau demikian, sebetulnya pasti aka nada perbedaan cara penanganan
antara psikolog dan konselor mengingat penekanan dalam proses belajarnya pun
berbeda. Ada beberapa tes psikologi (namun tidak semua tes psikologi) yang juga
dapat dilakukan oleh seorang konselor yang sudah mendapatkan pelatihan di
bidang itu.
PSIKOLOG,
PSIKIATER, dan KONSELOR
sebenarnya
sangat perlu bekerja sama dalam menangani klien agar dapat membantu
menyelesaikan masalahnya secara utuh dan holistik. Ketika seseorang mengalami
gangguan tidur, misalnya, perlu datang ke siapakah ? Jawabannya, jika gangguan
tidur itu sangat serius sehingga ia menjadi sulit berkonsentrasi dan berbicara,
maka terapi obat sangat diperlukan terlebih dahulu sehingga ia perlu
berkonsultasi dengan psikiater. Setelah terapi obat efektif, maka tubuh dan
pikirannya sudah siap untuk diajak berbicara dan berpikir soal masalah yang
dialaminya. Dalam hal ini, ia dapat berkonsultasi baik kepada psikolog maupun
konselor. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa mereka yang mengalami gejala
psikologis sangat serius sehingga tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir
jernih, lebih memerlukan bantuan psikiater untuk mendapatkan obat-obatan
sebagai langkah pertamanya. Baru setelahnya, mereka perlu berkonsultasi untuk
menyelesaikan dan mengahadapi masalahnya dengan seorang konselor (jika
gangguannya masih dalam batas normal maupun sudah dalam batas tidak normal).
Seorang praktisi yang professional tentu akan merujuk pasien atau kliennya yang
datang ketika dirasa bahwa kebutuhan utamanya ialah kepada seorang psikolog,
psikiater, atau konselor). Yang jelas, tidak ada yang lebih hebat atau lebih
pintar daripada yang lain; segalanya hanya tergantung pada kompetensi apa yang
lebih diperlukan dalam menangani masalah kejiwaan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar